Oh.... Betapa Klisenya

Perasaan ini menjadi gelisah.
Beberapa menit yang lalu aku membuka facebook, sekedar untuk membuka dan melihat kabar terkini dari teman-teman.
Kebetulan aku melihat kiriman dari Bu Rahma yang di komentari Bu Endang muncul di berandaku.
Isi statusnya seperti ini :


Membacanya aku jadi ikut bahagia, tempat sekolah ku dulu, kini punya lebih banyak program studi, katanya hari ini sedang ada akreditasi. Ini merupakan tangga-tangga menuju ke atas, ke atas menjadi sekolah yang selalu ada progress.


Bu Rahma, guru yang membuat aku menyukai mata pelajaran PKN, pada hari yang sama juga tengah melaksanakan prosesi wisuda untuk yang kedua kalinya. Aku bangga, turut bahagia dan termotivasi.
Aku masih ingat bagaimana sibuknya beliau sekitar 2 tahun lalu, ketika aku duduk di kelas XI. Beliau jarang ada disekolah, hanya pada waktu-waktu tertentu saja beliau datang. Tidak seperti ketika aku duduk di kelas X, beliau sering ada disekolah dan mudah untuk ditemui dan diajak bicara sekedar basa-basi tapi berisi.

Kesibukkan itu adalah untuk melanjutkan studinya, dan pada hari ini beliau mendapatkan gelar yang baru, M.Pd.
Aku turut bahagia dan berbangga. Beliau yang membuat aku menyukai bahkan mencintai pelajaran PKN, pelajaran yang erat kaitannya dengan bangsa dan negara ini. Setidaknya aku tidak buta ketika melihat sistem pemerintahan bangsa ini. Doa ku mungkin klise, tapi aku akan tetap berdoa, semoga segala kebaikkan selalu menyertai Ibu.

Satu hal lagi yang di tulis oleh Bu Rahma di statusnya, adalah tentang ucapan semangat dan permohonan maaf tidak bisa menghadiri Lomba Cerdas Cermat UUD 1945.

Hhh, aku jadi teringat setahun lalu. Aku juga menjadi peserta dalam lomba yang sama. Aku senang bisa dipercaya untuk mewakili teman-teman, menjadi satu diantara tiga peserta lain dan menjadi tiga diantara ratusan siswa lain untuk berlomba membawa nama sekolah.

Namun mengingat itu aku jadi gelisah. Itu bukan yang pertama kali aku ikut serta dalam perlombaan untuk sekolah, masih banyak yang lainnya. Aku gelisah juga merasa bersalah. Dari sekian banyak perlombaan yang aku ikuti belum pernah aku pulang membawa kemenangan.

Segala ekstrakulikuler awalnya aku ikuti, aku tidak ingin jadi siswa yang biasa-biasa saja, hanya menumpang, mencuri ilmu dan menuntut ilmu dari sekolah.
Namun pada akhirnya hanya beberapa yang aku pertahankan, karena memang jelas keberadaannya.
Semua itu kujalani hanya untuk "berkontribusi" dan turut serta memajuan sekolah, juga untuk membuat orang tua bangga. Katanya menuntut ilmu termasuk ibadah, maka aku jalani sebagai penghambaan juga pada Yang Maha Kuasa.

Namun itu, sampai aku lulus dari sana aku belum pernah sekalipun memberikan hasil yang memuaskan. Padahal sekolah memberikan kesempatan yang begitu banyak padaku, maafkan aku, bagaimana caranya untuk memperbaiki semua itu?

Kini aku menuntut ilmu di Perguruan Tinggi, berharap mendapat pendidikan yang lebih tinggi lagi agar menjadi manusia yang berbudi perkti luhur,agar dapat memperjelas masa depan yang belum terpijaki, agar mendapat penghidupan yang layak dan sejahtera, aku tetap saja merasa gelisah ketika ada pertanyaan "sudah 18 tahun kamu hidup di negeri ini, apa yang telah kamu berikan untuk negeri ini?". Ya, apa? Aku belum berbuat apa-apa. Mungkin untuk saat ini yang bisa aku lakukan hanya belajar sungguh-sungguh, oh betapa klisenya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengatasi APPCRASH di Explorer.exe

Semester IV, akhirnya usai...

Aplikasi Pembaca PDF dan Word Symbian40